Cinta Habibie
Habibie Prajurit Kertas, begitulah orang
memberi judul untuk karya tulis sesosok laki-laki muda kelahiran Yogyakarta dan
sedang menempuh pendidikan Jurnalistik di Universitas Bakti Indonesia untuk
gelar sarjana. Penampilan sederhana, rapih dengan ramput belah pinggir menjadi
ciri khas lelaki ini.
Suatu hari diceritakan Habibie mengikuti perkumpulan
perencanaan kegiatan Bakti Untuk Negeri yang diselenggarakan oleh Badan
Pengabdian Negeri Nasional. Ia salah satu peserta kegiatan tersebut, ratusan
orang berbaris memenuhi gedung perundingan laksana prajurit mengantri makan
malam. Bising percakapan antar perorangan, masalah perkuliahan, tugas,
pekerjaan, rutinitas sampai arisan terdengar menjadi satu irama yang sedikit
menggangu Habibie ketika pintu masuk gedung terbuka.
Peserta dibagi menjadi 35 kelompok, Habibie salah satu
dari kelompok 34 saat itu. Berdiri tegap, menoleh kanan kiri mencari dimana
calon teman-teman sekelompoknya, seperti komandan mengawasi pasukannya di sesi
latihan. Hingga akhirnya ia baca papan petunjuk yang bertuliskan kelompok 43, masih sepi, tak ada orang
duduk maupun berdiri disekitarnya. Ia sendiri, namun satu, dua, lima menit
berlalu hingga mula bermunculan peserta kelompok 34 dari balik tiang gedung.
“anda juga kelompok 34 ya, perkenalkan nama saya Habi,” begitulah ia mencoba
untuk ramah.
Setelah lama diskusi berjalan, tercetus pelaksanaan
kegiatan dilaksanakan tiga hari kedepan. Habibie dipercaya yang lainnya untuk
menjadi ketua kelompok, menjadi hal yang sangat menarik untuknya saat itu.
Diskusi lanjutan kelompokpun kerap dilaksanakan, hingga
pada akhirnya waktu pemberangkatanpun tiba. Perlengkapan yang habibie bawa
lumayan banyak, Tas gendong, papan tulis, paket alas tulis, dan printer. Turun
dari angkot, ia bingung mau gimana bawa perlengkapan sebanyak itu ke arena
kampus, karena jarak ke kampus lumayan masih jauh dan tidak ada trayek angkutan
kesana.
Handphone bergetar, ketika ………………………….. (Pending)
Tanggal 29 September menjadi hari terakhir mereka disana,
kesedihan mulai terasa di tengah-tengah hangatnya sambutan masyarakat. Beberapa
acara terselenggara. Hingga tiba malam hari ketika acara hampir semuanya usai..
ini saatnya Habi menyatakan apa yang ia rasakan ke Fima, Fima sedang asik
bercanda sambil melepas lelah dengan teman yang lain saat itu di ruang tengah
penginapan. Habi sendiri diluar menunggu waktu yang tepat, hati dag dig dug tak
karuan laksana prajurit dibangunkan serentak di lelapnya tidur malam. Terbayang
suasana takut dan menegangkan menyirami seluruh kujur tubuhnya sampai ketulang
sumsum tengkoraknya. Habi mencoba mengirimkan pesan singkat ke Lora, disuruhnya
ia tuk memberi tahu Fima untuk keluar. Masih tidak ada yang tahu selain
Lora kedekatan mereka
sa,pai saat itu.
Melaui pintu belakang kemudian Fima menghampiri Habi,
sedikit senyum lalu ia duduk tepat di depan Habi. Habi mencoba menyembunyikan
ketegangannya, sesekali ia mencoba menarik nafas, mengalirkan oksigen tambahan
ke seluruh aliran darah yang memuncak malam itu. “Allhamdulillah ya ma akhirnya acara penutupan lancar seperti ini, ya
seginimah bisa dibilang lebih dari sukses ya, hee,” begitu sapaan Habi
membuka percakapan mereka, “ia ya ini
berkat kerja sama yang kompak dikelompok kita,” Fima membalas singkat. “Ma, sebenernya ada yang mau aku ungkapin ke
kamu, aku pikir ini waktu yang tepat.. akhir-akhir ini, sejak dua minggu yang
lalu kurasakan hal berbeda ketikaku memahami kamu dibandingkan dengan teman
yang lainnya, rasa ingin memiliki itu tumbuh perlahan dihati aku ma, munkin
kamu juga merasakan hal itu, ehmmmm mau ga kalo kamu jadi satu-satunya orang
yang selalu ada di hati aku?” Habi mengungkapkanya dengan suara yang tak
terlalu keras, takut terdengar teman-teman yang lain. “gimana ya Bi, kita belum saling mengenal satu sama lain,””ya kita bisa
saling mengenal ko setelah kita bersama, mau kan Ma? Jawab jujur ya!,” Mereka
terdiam, Habi mulai ketakutan akan jawaban Fima, menjelang dua menit mereka
terdiam, mereka saling bertatapan, dak akhirnya jawaban itupun terungkap, Fima
menganggukan kepalanya, kemudian disusul anggukannya dua kali meyakinkan.
Seperti menahan kentut kemudian dikeluarkan di tempat sepi Habi membaringkan
tubuhnya ke Sofa. “Habi! Fima masuk dulu
ya, ga enak diliat sama yang lainnya, ga apa-apa kan!” “ia fima, jadi
kesimpulannya kita jadian kan! Ok hok kamu masuk duluan, ntar aku nyusul.” Percaya
ga percaya mereka jadian juga. Tanggal 29 September akan menjadi tanggal yang
selalu Habi ingat.
Tidur nyayak rupanya akan menghiasi habi malam itu, saat
ia terbangun, kebahagiaan karena Fima sudah menjadi miliknya. Kemudian mereka
bertemu kembali pagi itu, persiapan pulangpun hamper rampung. Tiba – tiba
Fima menghampiri Habi, sedikit sumringah Habipun menyambut kedatangannya,
laksana dua sejoli yang tak bertemu lama“Habi, gapapa kan kalo Fima pulangnya bareng Alex di
motor, Fima suka pusing kalo di Bis, gapapakan!” “hmm kenapa ga di Bis aja,
enak ko ga penuh ma, kan ada aku!” “tapi
kan rutenya bikin pusing, naik turun Bi,” tambah Fima. “ya sudah kalo gitu,
hati-hati ya!” habi mengizinkan meski aga
sedikit berat.
Habi duduk sendiri di pinggir jendela Bis, yang pada saat
itu memang tidak terlalu padat, karena sebagian peserta memilih memakai taxi.
Bispun melaju perlahan, terlihat Fima dan Alex melintas, menyusul bis tersebut.
Setelah
dua jam perjalanan, bis tiba dikampus lebih awal,
Habi membereskan barang-barang bawaan sembari menunggu Fima. Waktu sudah menunjukan waktu Dzuhur, Habipun memutuskan untuk
shalat terlebih dahulu.
Seusainya Habi shalat, terlihat Fima sudah datang. Ia berjalan ke arah suatu tempat, “maaaaa, mau kemana kamu!” Habi mencoba
menyapa Fima lagi dengan suara keras karena memang jarak keduanya lumayan jauh,
kemudian habi lihat Fima hanya melambaikan tangan saja. “hmm dasar cewe, kalo lagi cape gitu apa-apa jadi bête.” Setengah
jam berlalu, hampir keseluruhan peserta berkumpul di parkiran mesjid, kemudian
tak lama merekapun membubarkan diri. Terdengar pula oleh habi canda tawa mereka
menceritakan asiknya perjalanan pulang. “Lex
makasih ya atas tumpangannya,” terdengar ucapan itu dua kali oleh Habi dari
mulut Fima. Sedikit memalingkan muka, seakan akan tak dengar. Memang Fima
orangnya seperti itu.
Habi mulai merasakan ada hal yang berbeda yang ia perhatikan dari sikap Fima, “Fima
boleh numpang ga kedepan, ke tempat taxi, bawaan aku banyak nih,””owh ia sok
aja bi,” habi menumpang mobil yang Fima sewa untuk pulang. Habi duduk
dibelakang sembari menjaga barang-barang yang segitu banyaknya, seperti kamping
yang siap dijual. Habi dihantarkan sampe ke tempat kontrakannya, “ma, makasih ya, mampir dulu yu!” sembari
mengangguk, fimapun meneruskan perjalanan.
“cie cie kayaknya udah jadian nih sama dia ya Fim!” Tanya Lora yang kebetulan ikut semobil dengan Fima. “Apaan ci Ra, jalanin ja deh, he” jawab
Fima dipertengahan jalan menuju rumah kediaman mereka yang tak begitu
berjauhan.
Di suasana sepi malam kembali Habi termenung dikamarnya,
hening tanpa suara, hanya sesekali terdengar suara cicak seakan bertanya
mengapa. Kebahagiaan yang ia bayangkan semakin pudar, rasa ragu dan was-was
seperti kilat menjelang hujanpun kian menghampiri tanpa permisi.
Habi mencoba menghubungi Fima, “Ma lagi apa? Kangen senyum kamu ma!” Habi berusaha cairkan hatinya
yang aga sedikit kaku malam itu. “lagi
istirahat Bi, kenapa?” “gapapa ma cuma nanya aja, ya sudah kamu istirahat ya,
night!.” Obrolan via HPpun usai tanpa ada balasan lagi dari Fima.
Satu, dua hari berlalu dan hubungan mereka masih seperti
itu. Di malam berikutnya Habi mencoba kembali menghubungi Fima.
Habi : malem Fima, lagi apa? Boleh tanya sesuatu
ga?
Fima : malam Bi, lagi ngerjain tugas nih. Ia mau
tanya apa?
Habi : gini Ma, kita kan udah jadian ya. Tapi ko
setelah malam jadian kita, ke esokan harinya kamu terlihat beda, ada apa
sebenernya?
Fima : hmm gimana ya bi, sebelumnya minta maaf.
Sebenernya waktu malam itu Fima bingung harus ngomong apa, Fima ga tau cara
untuk ngasih tahu kamu kalo Fima Cuma sekedar suka sebagai teman ke kamu bi,
maaf kalo ini nyakitin kamu.
Habi : coba deh kamu ingat kenangan-kenangan kita
disana, kamu rekam ketika aku nyanyi-nyanyi, sepedahan bareng, kamu sun tangan
aku sepulang dari mesjid, kamu belain aku ketika aku sedikit marah ma kamu,
walaupun yang lain ga tau hal itu, yakin ko kita ngerasain nyaman satu sama
lain kan, dan kata-kata barusan ga mungkin keluar dari mulut kami Ma.
Fima : Kalo dibilang nyaman ya Fima juga nyaman Bi,
tapi nyaman itu hanya sekedar teman, belum lebih.
Habi : aku tembak kamu karena aku tau kamu
mengharapkan hubungan yang serius, dan aku memang pengen ngejalanin yang serius
Ma. Percaya please. Oke memang aku ga seperti yang lainnya, yang kesana kemari
enak wat dibawa jalan, BBMan, hang out kesana kemari. Keluarga aku sedang di
uji terutama factor Ekonomi, kedua adik aku juga lagi butuh-butuhnya biaya buat
sekolah, jadi fokus aku sekarang gimana caranya bisa ini itunya sendiri, ya
yang bisa dikerjainmah selalu aku lakuin. Sekarang terserah kamu ma mau
dilanjut atau engga sebelum terlalu jauh, aku gak percaya ini sesosok Fima yang
aku kenal.
Fima : Sama aja Bi, keluarga Fima juga keluarga
sederhana, Fima ga permasalahin itu ko.
Habi : Ya sudah, intinya hubungan kita mau dilanjut
atau tidak?
Fima : Kasih waktu ya.
Setelah lama SMSan, Habi tetap masih ga percaya atas
perlakuan Fima ke dia. Memang pada saat itu Keluarga Habi sedang di uji. Habi
lahir dari keluarga yang sangat sederhana, semasa kecilnya Habi tak begitu
merasakan banyak suasana yang semestinya kebanyakan anak yang lain
merasakannya. Sering dikucilkan, di olok-olok. Suatu ketika juga Habi pernah
dilempar kulit pisang oleh tetangganya ketika dia buang hajat dipinggir sungai,
karena rumah panggung yang ia miliki tidak mempunyai MCK, di usianya yang masih
6 tahun, Habi sedikit tertekan. Tapi semangat dan optimis orang tuanya selalu menjadi kebanggaan Habi, yang
sampai saat dewasa ini masih menjadi semangat Habi. Wa;au
terkadang ketika anak-anak yang lain bermain asik kesana kemari,
Habi membantu orang tuanya untuk berjualan es potong, “es… es.. es.. es potong,” begitulah suara kecil terdengar dari
mulut Habi sepulangnya ia sekolah mengelilingi sepinya kampung. Begitulah
kira-kira masa kecil Habi.
Masih tentang keluarganya, Pa Hari adalah bapak dari
Habi. Semangat dan optimisnya yang selalu menggebu menjadikannya pegawai
diperusahaan minyak, yang pada awalnya ia hanya bekerja sebagai sopir saja.
Lambat laun karirnya mulai merangkak, prestasi selalu ia dapatkan sehingga
suatu hari ia menjadi manager diperusahaan tersebut. Dari situ mulailah
perekonomian keluarga Habi mulai merangkak naik, mulai dari terbelinya sepeda, motor,
terbangunnya rumah sendiri walaupun sederhana, terpenuhinya kebutuhan
sehari-hari mereka mulai terasa ketika Habi duduk di bangku SMP.
Namanya juga hidup, karir pa Hari mulai meredup, hingga
sekitar 2 tahun terpontang panting mengalmi penurunan. Tapi ia tetap optimis,
atas kebesaran Allah dan ikhtiar yang sudah ia jalankan semuanya tidak akan
kemana, hingga pada suatu ketika ia membuka perusahaan minyak sendiri dengan
beberapa jumlah karyawan, Allhamdullilah Habi bisa melanjutkan kuliah, untuk
memperlancar kegiatan mereka, fasilitas kantor, kendaraan seperti mobil, motorpun terpenuhi, orang-orang mulai segan,
apakah seseorang jika ingin dihormati harus kaya terlebih dahulu, itulah
kalimat yang keluarga Habi benci sampai saat ini.
Dan di usianya kini, Habi harus lebih bersabar lagi,
karena kebutuhan hidup semakin bertambah. Yang biasa dikenal dengan Habi si Mio
Gold pun jadi hilang, motor kesayangannya harus ia jual untuk memenuhi tuntutan
hidup. Tapi Habi tetap menikmati kehidupannya walau kadang sesekali Habi
mengeluh.
Suatu malam habi berdoa, doa yang selalu ia panjatkan
sejak kecil, terdengar dari sela-sela pintu kamar Habi. “Ya Allah jadikanlah hamba menjadi hamba yang selalu bersukur dan sabar
akan segala keputusanmu, dan jika engklau berkenan jadikanlah hamba menjadi
hamba yang bermanfaat bagi orang-orang disekeliling hamba, titipkanlah rijeki
mereka melalui tangan hambamu ini ya Allah, Amin.” Begitulah kira-kira
keinginan kuatnya untuk membantu orang. Itu sekilas tentang Habi saat ini yang
bercita-cita melanjutkan studi sekaligus kerja ke Eropa.
Kembali tentang kisah cinta ia yang belum usai, di malam
ketiga Habi kembali menghubungi Fima.
Habi : Fima lagi apa? Ko ga ada kabar ma?
Fima : ia Bi, mulai banyak tugas kampus nih.
Habi : Ma gimana keputusannya?
Fima : Jangan tanya itu dulu, Fima bingung Bi.
Habi : ga bisa sekarang? Ya udah ga usah sekarang,
tapi jangan terlalu lama ya Ma, aku ga tenang.
Fima : Gini aja ya Bi, maaf sebelumnya, takut
terlalu jauh, terus kamu kecewa, Fima mau bilang hubungan kita ga bisa
diterusin lagi, ternyata suka Fima ke kamu Cuma suka sesaat saja. Maafin Fima
Bi.
Habi : Aku ga
percaya ini kamu Ma, bener-bener ga percaya. Ya sudah kalo itu keputusannya,
dipaksakan juga pasti ga baik.
(tak ada balasan dari Fima)
Habi : Yang perlu kamu tau, cinta aku ke kamu
tulus, dan itu niat serius aku ke kamu. Jangan ada yang berubah ya, kita tetep
bisa jadi teman sharing kan, biarin
anak-anak yang lain jangan tau dulu, takut malah mereka berubah sikap, kan kamu
tau sendiri ada beberapa cowo yang suka sama
kamu juga.
Fima : Ia Bi makasih ya dah ngertiin Fima.
Habi kembali termenung dikamarnya sendiri, bantal guling
menjadi teman akrab malam itu, hanya mereka yang faham keluh kesah Habi
rupanya.
Seminggu berlalu suasana Habi tetap tak sesumringah
ketika cintanya diterima Fima di malam terakhir kegiatan mereka. Hingga tiba
suatu ketika mereka berdua bertemu kembali untuk menyusun laporan hasil
kegiatan, waktu menunjukan jam 04.00 sore, laporan harus disetorkan ke esokan
harinya. Fimapun sendirian datang ke kontrakan Habi. “eh kamu Ma, masuk ma
maaf nih seadanya gini kontrakan akumah, harap dimaklum ya. Oia gimana
laporannya, sudah sampai mana?,” Habi bertanya, seolah-olah Fima sesosok
cewe biasa dimatanya. “ dikit lagi ko Bi, tinggal di print aja, kamu apa
kabar,” “aku baik-baik ja ko Ma, kamu sendiri?” “aku juga Alhamdulillah baik,”
“ oia kamu mau minim, haus kan pasti, at mau makan gitu,” Habi mengambilkan
minum dan makanan dari kulkas, seperti patih menawarkan bantuan pada ratu
dikerajaan Majapahit tempo doloe. “ehm Bi, maaf Fima ga makan-makanan dari
kulkas Bi,” “Oh gitu ya sudah air putih ja ya gapapa kan?” “ia boleh deh, oia gimana nih dah mau
magrib, Fima pulang duluan ya Bi, takut nyokap nyariin nih,” “ehm magrib disini
ja Ma, ntar pulangnya dah magrib,” “ia deh, bentar ya Fima mau ngasih tahu dulu
nyokap.” Dipandanginya Fima yang sedang menelepon, Habi merasakan
nuansa romantis petang itu, ia merasakan Fima memang sedikit ingin menunda
waktu pulangnya.
Laporanpun selesai tepat pukul 8 malam, akhirnya Fimapun
pulang. “Fima pulang dulu ya Bi,” “ia hati-hati ya, sms kalo udah nyampe
rumah, biar laporan aku yang anter besok pagi ke kampus deh, makasih ya Ma.”
Sejak malam itu, mereka kembali sering kirim terima
pesan, atau sesekali via telepon. Hingga pada akhirnya sekitar tanggal 20
Oktober:
Fima : “pagi ini
matahari masih malu-malu menampakan dirinya, sepertiku yang malu beraktifitas
kembali di hatinya. Malu karena pernah menyakiti tempatku beraktifitas. Aku
ingin meminta buah apel darinya, dan aku tahu pasti dia akan memberinya karena
dia tidak mendendam, tapi bagaimana cara aku memintanya?
Habi : “ku bagai
mentari pagi ini, tak lelah karena memang itu aku, dinda, aku punya banyak buah
apel disini, kalo kamu mau, aku bisa kasih semuanya, biar kamu makan, dan
sebagian kamu simpan.”
Smsan berhenti sampai disana, keesokan harinya, Habi
ingin memastikan, siapa tahu Fima pengen balikan lagi.
Habi : “Fima maksud dari sms
kemarin itu, bener ga kalo kamu kembali suka ke aku dan ingin beraktifitas
kembali di hati ini?”
Fima : “kamu udah baca status aku
di FB kan, (…….. ku ingin mengakui, bahwa aku masih menyukainya (H)) itu buat
kamu Bi, inisial nama kamu).tapi itu juga kalo kamu mau, tahu sendiri Fima kan
pendiem orangnya, takutnya kamu ga bisa.
Untuk lebih mamastikan lagi, kemudian Habi menelepon Fima.
Habi : Jadi gitu Ma, so do you
want me to be yours?”
Fima : yes
Habi : pake bahasa Indonesia ya
takutnya aku salah denger. Jadi kamu mau jadi pacar aku lagi Ma?
Fima : Ia mau Bi.
Habi menduga sebelumnya Fima pasti kembali lagi untuknya, dan akhirnya
semuanya menjadi kenyataan. Tak begitu bisa dideskripsikan perasaan Habi waktu
itu, jelas senyumnya menunjukan dia teramat senang luar biasa. Habi menanyakan,
memperjelas kenapa Fima bisa suka lagi sama dia. Fimapun menjelaskan bahwa
kegigihan Habi selama ini untuk meneruskan niatnya, yang Fima tahu dari setiap
sms-smsnya, dari cara ia memperlakukan Fima, semuanya menunjukan rasa ingin
memiliki yang kuat dari Habi.
Fima termasuk cewe cuek, tapi Habi berusaha slalu menyesuaikan, meski
sedikit mengganggu konsentrasi Habi saat itu.
Di hari ketiga mereka berpacaran tanggal 25 Oktober, merekapun bertemu
meski hanya sekitar satu jam saja, tapi menjadi moment diamana rasa kangen
bertabur disana. Ketakutan Habi untuk kehilangan Fimapun sirna sudah,Fima kini
berada disampingnya,
Suatu ketika, tepatnya di hari raya Idul Adha, ada sedikit ganjalan di hati
Habi, Habi berusaha sms dan telepon Fima, tapi tetap tidak ada balasan. Mungkin
Fima lagi sibuk dengan kegiatan lebarannya. Tapi cueknya Fima, mulai terasa
kurang nyaman di hati Habi, hingga kerap kal menjadi bahan pikiran Habi. Selalu
tidak ada jawaban pasti ketika ditanya mengapa Fima demikian. Hingga pada malam
harinya Habi coba menelepon Fima.
Habi : Fima kenapa si daritadi ga
di angkat ga di bales juga sms yang udah banyak aku kirim, ada apa ci?, kan aku
dah bilang, apapun itu, please komunikasikan Ma, bisa kan?
Fima : ga ada apa-apa ko, lagi
males aja.
Habi : ko males, aku kan pacar
kamu Ma, biasanya orang seneng ditelepon comonya sendiri, gimana kita bisa
saling kenal Ma kalo kaya gini caranya, tadinya pacaran ini jadi penyemangat
buat satu sama lain, tapi ko gini ya. Gini deh, sebenernya kamu mau terusin
hubungan ini atau tidak, jujur saja ya Ma, ini semester akhir, mesti banyak
yang perlu difokusin, terutama untuk mengejar cita kita masing-masing, toh
nanti kalo kita sukses, kita berdua yang seneng. Aku ga maksa kamu deh, kamu
juga udah tau gimana aku nunggu kamu selama ini. Aku Cuma pengen ngerasain rasa
memiliki kamu ke aku Ma, itu ja, setelah itu kamu mau cuek juga silahkan, toh aku
dah tenang karena kamu dah jadiin aku satu-satunya wat kamu. Gitu Ma.
Fima : maaf ya Bi, Fima takut ini jadi beban wat kamu karena sikap Fima.
Habi : Jadi kamu mau akhirin ja
hubungan ini?
Fima : Ia Bi, maaf banget ya.
Maaaaaaf banget Bi.
Habi terdiam lama, dan kemudian menjawab: ya sudah kalo itu mau kamu,
kita masih bisa jadi teman ko, jangan berubah ke aku ya Ma. Ga nyangka secepat
ini lagi. Tapi kalo kamu berubah pikiran, aku tunggu sampe besok pagi jam 06.00
ya, kalo tidak ada informasi lagi berarti kita memang mesti selesai sampe sini.
Fima : ia Bi.
Tidur Habi ta tenang malam itu, hingga ia tidur dan terbangun kembali jam
02.00 dini hari. Sperti biasa ia mohon yang terbaik. Dan kemudian dilanjutkan
tidur. Saat shalat shubuh, kembali belum ada pesan masuk hingga lewat jam 06.00
tetap tak ada balasan. Habi membanting tubuhnya ke kasur, lemas, lelah, cemas, bingung,
kecewa bersatu seperti sunami aceh waktu itu, porak poranda semua.
Inilah doa habi malam sebelumnya, dini hari 02.00:
“Ya Allah jika engkau berkenan, jadikanlah Fima pasangan untukku.
Sungguh tak tenang hati ini ya Allah. Kan kujadikan dia bahagia melalui tangan
ini atas seizinmu ya Allah. Biarkan hamba memastikan semuanya esok hari,
tunjukan rasa ingin memilikinya jika dia memang baik untuk hambamu ini ya
Allah, tapi jika tetap seperi itu sikapnya, aku ikhlas ya Allah, aku yakin
dengan niatanMu yang baik dibalik semua ini, Robanna hablana min ajwajina
wadurriyatina qurrota a’yun waj’ alna lilmuttaqina imama, amin. Pertemukan
ketikaku siap untuknya”
Karya,
26 Oktober 2012
Baran Wargika (0877 4446 1849)